Tebuslah Nafkah, Walau Hanya Dengan Segenggam Kurma

 
Saya prihatin dengan para cerdik pintar, sarjana s1 yang mendalihkan pekerjaan tetap sebagai alasan tidak menikah. tentu saja mencari nafkah adalah keutamaan dan kewajiban seorang lelaki, walau dia sudah menikah atau tidak, mandiri dalam mencari nafkah seharusnya melekat dengan kedewasaannya. 
Namun persoalan besarnya adalah bagaimana bisa muncul 'rasa malu' ketika seorang sarjana mendapatkan nafkah dari cara yang 'keras dan tidak berpendidikan'. seolah untuk apa berpendidikan tinggi bila harus mengangkat beras di pasar atau menarik gerobak sayur di perumahan penduduk. 
'Mau ditaruh kemana malu ijazahmu itu? rugi kuliah 5 tahunan, apa juga ipk 3,5' dan begitu banyak asumsi-asumsi negatif lainnya bila seorang sarjana tidak memiliki pekerjaan sesuai dengan keilmuannya.
Akhirnya, demi rasa malu dengan ijazahnya, banyak pula yang kemudian berlomba-lomba mengejar s2 dan berharap sepulangnya nanti akan ada kesempatan bekerja sesuai dengan 'ke elitan' titel pendidikan yang dimilikinya. 
mungkin mereka lupa, soal nafkah kepada keluarga dan pendidikan yang kita miliki adalah dua hal yang terpisah. maka ada sebaiknya kita berkaca kepada yang sangat pintar hingga rasulullah menjulukinya jendela ilmu. yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Sayyidina Ali berkata: Aku sering mencari nafkah di masa sulit dengan cara menimba air dari sumur yang sangat dalam dengan hanya mendapat upah segenggam kurma. tanganku hingga melepuh karena dalamnya, namun itu lebih kucintai daripada tidak melakukan apa-apa. 
Bukan hanya sayyidina Ali, Abu bakar juga menghela kayu diatas kepalanya demi menafkahi keluarganya. Umar menernakkan unta dan kambing demi keperluan istri-istrinya. bagi mereka, bekerja mencari nafkah tidak pernah berhubungan ilmu dan derajat ketokohan yang disandingkan kepada mereka. bila para khalifah saja tidak mempermasalahkannya, siapakah kita hingga mendoktrin nafkah harus turun dari jalan-jalan tertentu? :) sumber : https://www.facebook.com/rahmat.idris.35