Nilai Sebuah Kejujuran

Lelaki shalih itu ternyata bernama Arif Sardjono. Seorang ayah dari enam anak dan suami dari seorang istri yang juga shalihah. Subhanallah, begitu kuat keimanan mereka pada Allah. Mungkin kita pernah mendengar kisah tentang seorang lelaki yang ditugaskan untuk bekerja di sebuah kantor perpajakan di bagian pemeriksa keuangan. Sebagaimana pemahaman masyarakat pada umumnya, seringkali melihat "orang pajak" adalah orang kaya, yang berkelimpahan hartanya. Tapi hidup lelaki ini tidak demikian, meski tempatnya bekerja sangat berpotensi untuk mendapatkan itu, karena ia memilih untuk hidup dalam kejujuran. Kisahnya ia mempunyai teman kantor sekaligus atasan yang begitu dekat dengannya dan anak-anaknya. Setiap pekan mereka berdua memancing bersama, dan setiap kali itu pula temannya ini memberikan amplop untuk anak-anaknya. Hingga suatu ketika ia mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu dia menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Atasannya berpendapat bahwa jika semua penyimpangan ini diungkapkan maka perusahaan ini akan bangkrut dan akan banyak pegawai yang di PHK. Maka, baginya menutupi kebenaran adalah sebuah keputusan yang terbaik. Diantara semua orang kantor yang ikut andil dalam masalah ini, Pak Ariflah satu-satunya yang menolak keputusan ini. Hingga akhirnya atasan ini berkata, "Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik". Pak Arif tentu saja terkaget ketika ternyata diberi tahu bahwa amplop yang setiap pekan selama dua tahun ia terima dari sahabatnya itu ternyata adalah berasal dari uang suap. Bayangkan, dua tahun dalam setiap pekan itu jika rutin artinya 96 kali menerima amplop. Ia lantas pulang dalam keadaan terpukul. Ia menangis dan menceritakan semuanya pada istrinya. Ketika mendengar, lantas istrinya pun bertahmid, karena ternyata amplop-amplop itu masih ia simpan rapi dan belum pernah ia buka satupun, apalagi dipakai, karena ia tidak tahu apa status uang itu. Segera Pak Arif mengambil semuanya dan ia lempar amplop-amplop itu di hadapan kepala kantor dan kepala seksi hingga bertaburan di lantai. Mereka tidak bisa berbicara apapun karena fakta obyektif, bahwa Pak Arif tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Berita seperti ini memang tidak pernah dimediakan dengan begitu gencar seperti dengungan banyak pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Barangkali kisah Pak Arif itu hanya salah satu contoh saja diantara sekian orang yang masih mempertahankan kejujuran meski di tengah lingkungan yang tidak mendukungnya untuk jujur. Boleh jadi kita begitu emosi menyaksikan ketidakadilan merajalela. Mungkin kita gusar mendengar kabar koruptor memakan uang rakyat yang pastinya tidak dilakukan oleh para pengemis jalanan. Mungkin juga kita gelisah menyadari bahwa betapa tidak habis-habisnya masalah kemiskinan yang terjadi di negara kita. Bahkan tindakan korupsi seolah menjadi hal yang biasa. Bahkan orang jujurlah yang tersingkir. Mungkin kita telah tiba pada akhir masa, Ya, akhir masa dimana orang-orang beriman seperti terasing, jumlahnya tidak banyak, bahkan hampir tak terlihat. Tapi saudaraku, coba tengoklah diri kita Apakah kita termasuk golongan yang juga mempertahankan kejujuran itu? Marilah kita kembali pada Allah Marilah kita rasakan pengawasan dari Allah Bukankah harta benda, popularitas, riuh tepuk tangan, apalagi sekedar ucapan terimakasih dari manusia itu tidak bernilai apapun dibandingkan dengan syurga-Nya? Mari kita mulai dari hal-hal yang bisa kita lakukan Jika kita adalah seorang pelajar, ketahuilah bahwa Allah melihat kesungguhan kita dalam belajar, tidak perlu mencontek Meski orangtua, guru atau bahkan kepala sekolah langsung yang memerintahkan untuk melihat kunci jawaban ketika ujian nasional tiba misalnya.. Apakah perintah seorang manusia untuk berbuat kecurangan itu lebih didengar daripada seruan Allah untuk berlaku jujur? Marilah kita kembali pada Allah. Meski sulit membayangkan kejujuran di negeri ini akan terwujud, tapi ini adalah suatu hal yang mungkin. Untuk guru-guru di kampus peradaban, terimakasih karena kau telah mengajarkan kami kejujuran... :') Oleh: Aghniya Humaira ( alumni As Syifa Boarding School )