KUNCI KEBAHAGIAAN 1. TAWAKAL




Dalam mengarungi kehidupan, manusia tentu menginginkan kebahagiaan. Berbicara soal kebahagiaan maka sesungguhnya hal tersebut adalah permasalahan batin. Bahagia tidaknya seseorang sebanarnya tidak tergantung sepenuhnya terhadap hal-hal yang bersifat materi, walaupun hal-hal yang bersifat materi tetap akan mempengaruhi kebahagiaan manusia, akan tetapi materi bukanlah hal utama yang mempengaruhi kebahagiaan. Misalnya saja, apakah orang yang memiliki 4 rumah, 2 perusahaan, dan 7 mobil mewah pasti lebih bahagia dari orang yang hanya memiliki 1 rumah, 1 motor, dan sepetak sawah?Jawabnya, Belum tentu, karena sekali lagi Kebahagiaan adalah perkara batin. Kebahagiaan terkait respon batiniah kita terhadap fenomena kehidupan.
Meskipun seseorang memiliki Kekayaan yang melimpah, akan tetapi jika batiniahnya merasa kurang atau dengan kata lain masih merasa miskin maka dia tetap tidak bisa dikatakan bahagia. Memangnya adakah orang yang seperti itu? Tentu ada, misalnya saja Para koruptor, mereka tentu rata-rata adalah para pejabat negara yang gajinya tidak sedikit. Mereka tentu bukan gelandangan apalagi kaum peminta-minta. Mereka adalah orang yang hidup dengan fasilitas di atas rata-rata. Intinya secara lahir mereka adalah orang kaya. Kalau mereka memang orang kaya, lantas mengapa mereka nekat melakukan korupsi yang resikonya dunia-akhirat? Tentu saja karena merasa masih kurang, merasa belum kaya, lahiriah mereka kaya tapi batiniah mereka miskin. Mereka tidak pernah merasa cukup, sehingga hidupnya tidak merasa tenteram. Itulah sedikit contoh bahwa orang yang berlimpah materi belum tentu merasa bahagia.
Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup ada kunci-kunci kebahagiaan yang harus selalu kita pegang. Karena kebahagiaan adalah perkara batin maka kunci-kunci kebahagiaan juga bersifat batiniah. Kunci-kunci ini sangat erat hubungannya dengan kecerdasa spiritual yang dimiliki oleh seseorang (pembahasan tentang kecerdasan spiritual insya Allah akan disajikan dalam artikel yang lain). Kunci yang pertama adalah “Tawakal kepada Allah SWT”. Tawakal adalah mewakilkan urusan kita kepada pihak lain yang dianggap terpercaya. Jadi, Tawakal kepada Allah berarti kita menyerahkan urusan kita sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika bertawakal berarti kita menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT tentang kemungkinan Berhasil tidaknya urusan yang sedang atau akan kita jalankan. Dengan sikap seperti ini berarti kita siap menerima apapun keputusan dari Allah SWT tanpa protes dan kecewa. Sebab kita telah memahami bahwa meskipun kita punya rencana, tapi Allah lah yang punya Kuasa. Dengan sikap seperti ini kita juga akan lebih optimis karena “Backing” kita dalam meyelesaikan sebuah urusan bukanlah “Backing” sembarangan tapi sang penguasa jagad raya Allah SWT yang akan menjadi “Backing” kita.
Tawakal merupakan konsekuensi logis atas keimanan kita. Ketika kita yakin sepenuhnya kepada Allah SWT, bahwa Dia adalah Dzat yang maha kuasa, maha adil, maha kaya, dan maha penyayang kepada hambanya, maka tidak layak ada keraguan dalam diri ini untuk menyerahkan urusan kepada sang penguasa Alam, Allah SWT. Apalagi hal ini merupakan perintah Allah SWT dalam banyak Ayat Al Quran, yang diantaranya adalah:
 يَنْصُرْكُمُ اللهُ فَلاَ غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Jika kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan dan menghinakan kamu. Maka, siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah? Dan kepada Allahlah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakkal.” (TQS. Ali Imrân: 160).
Dengan tawakal berarti kita menjadikan Allah SWT sebagai tempat bersandar dalam segala situasi. Sebab hanya Allah lah yang pantas menjadi tempat bersandar bagi kita, bukan yang lainnya. Dengan menyandarkan segala sesuatu kepada Allah SWT maka hidup akan merasa tenang, sebab kita yakin bahwa sandaran kita kita adalah Dzat yang maha kuat. Selain itu, Allah tidaklah memiliki kepentingan apapun dengan kita, sehingga setiaap keputusan dari Allah pastilah keputusan yang terbaik dan sangat adil. Tidak mungkin Allah menyengsarakan hambanya, sebab Dia lah yang maha pengasih lagi maha penyayang bagi setiap hambanya. Dengan bertawakal maka Allah akan menjamin rezeki kita, sebagaimana dalam sebuah Hadits:
“Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberikan rizki kepada kamu sama seperti memberikannya kepada burung yang berangkat pagi dengan perut kosong kembali dengan kenyang.” (H.r. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Bertawakal kepada Allah bukan berarti kita melupakan hukum sebab akibat. Bertawakal adalah perintah dari Allah, sedangkan mengikuti hukum sebab akibat juga merupakan perintah dari-Nya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Rasulullah adalah orang yang paling bertawakal kepada Allah, tetapi Beliau juga tetap melaksanakan hukum sebab akibat. Ketika berperang misalnya, beliau juga memakai baju besi, menyiapkan strategi perang, dan menyiapkan senjata beserta kendaraan. Bukan berarti karena sudah bertawakal kemudian rasulullah melakukan persiapan ala kadarnya. Walaupun sudah bertawakal, rasulullah tetap melakukan persiapan fisik secara sungguh-sungguh. Ada sebuah kisah yang cukup mashur di tengah-tengah kita, yaitu tentang seorang baduwi yang bertanya kepada rasulullah SAW. Orang Baduwi tersebut memahami bahwa bertawakkal kepada Allah SWT. dengan pemahaman, bahwa jika seseorang telah bertawakkal, maka orang tersebut bisa meninggalkan hukum sebab-akibat. Dia datang kepada Nabi dan bertanya kepada beliau saw.:
“Apakah unta itu dibiarkan saja depan pintu seraya bertawakkal kepada Allah? Ataukah harus diikat dahulu supaya tidak hilang?” Beliau saw. menjawab: “Ikatlah dan bertawakkal (kepada Allah).”
Antara tawakal dan melaksanakan hukum sebab akibat bisa diibaratkan seperti shalat dan puasa. Ketika kita melaksanakan puasa bukan berarti kewajiban shalat menjadi gugur, atau sebaliknya. Shalat adalah suatu kewajiban dan puasa adalah kewajiban yang lain. ketika salah satunya dikerjakan bukan berarti kewajiban yang lain menjadi gugur. Begitu pula dengan tawakal yang merupakan suatu kewajiban dan melakukan hukum sebab akibat adalah kewajiban yang lain. tidak bisa dengan alasan sudah bertawakal kemudian kita tidak mau bekerja, atau Ketika ingin pintar kita tidak mau belajar dengan alasan sudah bertawakal, itu semua adalah pemahaman yang keliru. Sekali lagi, tawakal bukan berarti menghilangkan kewajiban kita sebagai manusia untuk mengikuti hukum sebab akibat. Sebab, Allah SWT telah menciptakan hukum sebab akibat bagi kehidupan manusia. Tawakal adalah perkara hati, melakukan hukum sebab akibat adalah perkara fisik, keduanya tidak bisa dikaitkan satu sama lain.
Begitu juga dengan perjuangan menegakkan islam, walaupun Allah telah menjanjikan bahwa islam akan kembali tegak, bukan berarti kita tidak berjuang. Kita harus tetap berjuang, karena rasulullah dulu juga berjuang. Tidak bisa dengan alasan sudah yakin dengan janji Allah kemudian kita tidak mau berjuang. Percaya kepada janji Allah adalah suatu kewajiban dan berjuang adalah kewajiban yang lain.
Allah SWT membarikan penegasan kepada kita dalam sebuah ayat:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
“Apabila kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Q.s. Ali Imrân: 159).
ketika kita sudah memiliki suatu keinginan kuat maka harus segera bertawakal kepada Allah. Dengan seperti itu, ketika keinginan kita tercapai maka kita akan bersyukur, dan ketika tidak tercapai akan tetap bersabar, sebab berhasil tidaknya keinginan tersebut telah kita serahkan kepada Allah SWT. Dengan seperti itu, hidup tentu akan selalu tentram dan bahagia. Wallau a’lam bi Shawab.Oleh : Agus Prasetya

0 komentar: