“Mendidik anak menjadi disiplin harus dengan kekerasan fisik, persepsi ini harus diubah. Harus dengan cara lain. Misalnya reward dan punishment,”
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak.[1] Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak.[2] Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak)
anak menjadi sasaran pelampiasan kekesalan atau masalah yang membelit orangtuanya. Baik secara fisik maupun psikis. Itu berupa kata-kata kasar, cemooh ataupun ungkapan yang mengintimidasi anak. Atau orangtua tidak bisa menerima kondisi anak yang punya kelemahan fisik ataupun psikis.
Apapun alasannya, kekerasan tidak hanya membekas pada fisik anak saja. Tapi juga psikis. Menurut para ahli psikologi, luka psikislah yang justru sulit untuk disembuhkan.
Kekerasan yang menimpa anak, menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Misalnya, seperti rasa trauma, konsep diri yang negatif, kesulitan menyesuaikan diri dan kecenderungan berperilaku balas dendam.
Adalah benar, teguran Rasulullah yang di tujukan kepada seseorang yang merenggut bayi dengan kasar karena mengompol di pangkuan beliau. Perbuatan kasar yang dilakukan orangtuanya, bakal membekas pada jiwa anak, sehingga anak akan mempunyai jiwa yang kasar.
Anak Kita adalah Amanah
Anak adalah karunia-Nya yang terlahir fitrah. Kitalah yang akan menjadikannya Muslim, Yahudi atau Nasrani. Kita pulalah yang membentuknya menjadi apa kelak, melalui pendidikan.
Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak di musuhi, ia akan terbiasa menentang. Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas. Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Nukilan sebagian ungkapan Dorothy Law Nolte dalam Children Learn What They Live With di atas, perlu kita renungkan dalam upaya mendidik dan memperlakukan anak. Bisa dipastikan, perlakuan keras pada anak akan membuat anak tersiksa dan menjauhi kita.
Adalah Mu’awiyah marah kepada anaknya Yazid, lalu mengasingkannya. Ahnaf penasihatnya berkata, ”Ya Amirul Mukminin, anak-anak kita adalah buah hati dan tulang punggung kita. Kita ini bagaikan langit yang teduh bagi mereka dan bagaikan bumi yang rata. Dengan keberadaan mereka, kita dapat memperoleh kejayaan.
Kalau mereka marah, hiburlah dengan sabar. Kalau mereka meminta, berilah. Jika tidak meminta sesuatu, tawarilah. Jangan engkau perlakukan mereka dengan kasar dan kejam, sehingga mereka tidak betah bersanding denganmu, bahkan mendo’akan kematianmu.”
Sejak mendengar nasihat bijak itu, Mu’awiyah memperbaiki sikapnya terhadap anak-anaknya.
Maka salah satu solusi paling tepat, untuk menghindari kekerasan pada anak adalah memperkuat fungsi keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai pengasuh dan pengelola keluarga. Dan sebagai orangtua, sepantasnya kita memenuhi hak-hak anak.
Orangtua, selain memberikan makanan bergizi untuk pertumbuhan kecerdasan dan fisik anak, juga memenuhi kebutuhan non fisik anak. Berupa kasih sayang, perhatian, pendidikan dan pembinanan yang bersifat religius secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.
Pada suatu kesempatan, para sahabat Rasulullah mengajukan pertanyaan, ”Ya Rasulullah, kami telah mengetahui hak orangtua, kemudian apakah hak kami padanya?” Jawab Rasulullah, ”Hendaklah orangtua memberikan nama yang bagus dan mendidik dengan baik,”(Riwayat Baihaqi).
Pada riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Tidak ada pemberian orangtua yang paling berharga kepada anaknya dari pada pendidikan akhlak mulia,”(Riwayat Bukhari).
Keluarga Kokoh
Islam begitu memperhatikan institusi keluarga. Keluarga yang kokoh mampu membentengi seluruh anggota keluarga dari semua hal yang bisa membahayakan anggotanya, fisik maupun psikis. Baik yang datangnya dari luar maupun dalam keluarga itu.
Rasulullah banyak mencontohkan bagaimana hidup berkeluarga yang baik. Rasulullah adalah pribadi yang penyayang, apalagi terhadap anak-anak. Banyak riwayat yang melukiskan betapa sayangnya beliau terhadap anak-anak.
Selain pendidikan dan pengasuhan, keutuhan keluargapun sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Sehingga Allah menegaskan, perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian.
Karena itu, jika terjadi sesuatu maka fungsi keluarga perlu diperkuat sehingga keluarga kembali menjadi kokoh. Generasi yang terlahir dari keluarga-keluarga seperti ini, menjadi generasi yang kuat dan mempunyai militansi yang tinggi.
Mengingat begitu esensinya keluarga dalam mengubah peradaban, maka musuh-musuh Islam berusaha sekuat tenaga membuat keluarga-keluarga Muslim hancur, keluar dari agamanya. Islam secara tegas memerintahkan agar kita mencegah diri, anak dan istri dari api neraka. Karena itu, sebagai orangtua kita harus selalu menjaga amanah yang telah dititipkan Allah SWT pada kita. Bukankah di yaumil akhir nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban tentang anak-anak yang berada dalam naungan kita?
Sumber bacaan lain (hidayatullah.com)
0 komentar:
Posting Komentar